Panggil aku Pak Gun, usiaku paruh baya, tiap harinya aku sering mangkal dikawasan lampu merah, bukanlah jalan besar tetapi sering dilalui orang di daerah Blimbing, di kota Malang.
Setiap pagi sampai siang, aku mengayuh becaku untuk mencari nafkah. Berapapun hasil yang aku dapat setiap harinya harus disyukuri, walau itu cukup atau tidak cukup untuk membayar biaya hidup rumah tangga dan sekolah anak-anaku.
Ketika matahari sudah tepat diatas kepala, aku kembali pulang kerumahku yang sebenarnya cukup jauh dari daerah Blimbing. Aku membawa motor lalu pergi ke perempatan lampu merah di tempat aku biasanya mangkal, aku parkir agak jauh agar tidak mencolok, lalu aku mulai melepas sandalku dan memulai mengamen, menggunakan peralatan seadanya, kalau inget ya bawa ecek-ecek, kalau tidak ya cukup mengeluarkan suara kecil dan diiringi oleh tepuk tangan. Kalau lagi males ya langsung minta minta saja, biasanya target aku kendaraan mobil, soalnya kalau motor lebih jarang yang mau ngasih.
Sekali ngamen / ngemis, biasanya lebih sering dikasih receh gitu lima ratus, seribu, bahkan kadang-kadang ya koin dua ratus gitu. Awalnya aku mulai ngamen gini ya malu, tetapi desakan ekonomi dan kurangnya keterampilan kerja sendiri yang membuat aku akhirnya memberanikan diri untuk menjalani pekerjaan ini. Makanya awalnya saya cari tempat yang agak jauh dari rumah, setiap hari saat saya ngamen saya berharap orang yang saya mintai ga pernah kenal sebelumnya dengan saya atau punya hubungan keluarga dengan saya.
Seiring waktu berjalan, lama-lama aku udah terbiasa dan kenal banyak orang juga sudah di daerah ini. Mulai aku punya pengaruh disini, sesekali ada anak kecil kecil gitu ikut ikutan ngamen, kalau ketemu aku, pasti aku marahin dan aku usir mereka karena aku udah nyaman dengan lokasi ini. Jadi mereka yang ngamen atau yang ngemis di daerah ini, baru berani beraksi kalau aku lagi ga disana.
Dalam sebulan minimal aku punya penghasilan dua juta, rata-rata sih tiga sampe empat juta, ga kalah sama orang kantoran yang outletnya deket dengan tempat aku mangkal. Dengan begini, aku jadi tambah yakin bahwa kerja kaya begini cukup menjanjikan. Tapi kalau mau dibilang mudah ya engga juga, harus berdiri minta uang dari satu mobil ke mobil lainnya dan itu berlangsung dari siang sampe malem. Sesekali cuaca ga mendukung, kalau hujan saya tetap terobos aja, yah dengan begitu mungkin orang akan lebih kasihan, uangnya saya taruh kantong, kalau hujan ya dibiarin aja, nanti sampe rumah uangnya bisa disetrika.. hehe.
Sesekali waktu istirahat, saya duduk duduk di teras outlet dekat tempat saya mangkal, saya lihat orang-orang kerja pakai pakaian yang rapi, pas mereka istirahat saya sesekali saya tanya ke mereka, apa enak kerja kaya begitu, gajinya berapa, mendengar berapa mereka digaji, kepala saya mengangguk angguk sambil tersenyum kecut. Ternyata seringkali penghasilan saya bisa lebih baik dari mereka, walau saya hanya modal pakaian lusuh dan suara yang pas-pasan, ga harus pinter.
Kalau sudah malam gitu, sekitar jam delapan atau jam sembilan, saya pulang kerumah dengan motor yang tadi saya parkir agak jauh dari tempat saya mangkal. Pulang sampe rumah rasanya badan pegel semua, cape, tetapi besok harus menjalani rutinitas yang sama lagi. Yah mau gimana lagi ya, kalau tidak begitu kebutuhan rumah tangga ya ga kecukupi, anak juga masih perlu biaya sekolah. Tapi saya ga pingin suatu hari nanti anak-anak aku menjadi seperti bapaknya, yow mesake.. uripe melas.. hehehe *ketawa lepas*
Sumber : Wawancara Narasumber
Disclaimer : Konten gambar di atas hanyalah ilustrasi, nama orang pada kisah diatas menggunakan nama samaran, identitas narasumber dirahasiakan sebagai salah satu kode etik dalam penulisan yang sudah disepakati bersama.
Bagikan
Membalik Tangan, Berpeluh Menantang Jalanan
4/
5
Oleh
Joshua Favian
Silahkan tulis komentar anda dengan cerdas, sopan dan mudah dipahami. Terimakasih :)